Masalah karakter kian naik daun sekarang ini. Apalagi dengan lahirnya
Silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) “Berkarakter.” Siswa-siswa
kita dituntut menjadi insan berkarakter positif dengan alatnya berupa Silabus
dan RPP. Makin terbebanilah mereka. Penguasaan terhadap—minimal—10 mata
pelajaran wajib, tuntutan harus mendapat nilai baik dari orang tua, sekarang
ditambah pula menjadi insan berkarakter.
Tentu bukan hanya siswa yang pusing, ini pun menjadi tambahan pekerjaan
bagi orang yang telah “mengorbankan” diri berprofesi guru. Betapa repotnya
seorang guru yang setiap hari “kudu” dan wajib membuat RPP minimal sebanyak dua
halaman, berceloteh minimal di tiga kelas berbeda perharinya dengan jumlah
siswa minimal 30 orang, harus ditambah pula menjadikan siswa-siswanya insan
berkarakter.
Menciptakan insan berkarakter tidaklah semudah mencatumkan “karakter yang
diharapkan” pada kolom akhir Silabus atau RPP. Untuk menciptakan insan
berkarakter tentunya seorang guru haruslah tuntas karakternya. Seorang pencipta
sudah sepatutnya lebih baik dari ciptaannya. Bukan hanya itu, seorang guru
harus sanggup memantau terus-menerus setiap siswanya. Guru harus memahami
masalah siswanya secara detil dan menanamkan nilai-nilai positif dalam diri
mereka secara perlahan. Ada kalanya ketika guru telah berhasil menanamkan satu
nilai positif, muncul dua nilai negatif dalam diri mereka atas pengaruh
lingkungannya. Kemungkinan lain adalah naik turunnya karakter mereka,
disebabkan keremajaannya. Sehingga mereka belum mampu konsisten dengan karakter
tersebut.
Sekarang Anda bayangkan jika seorang guru/wali kelas bertanggung jawab
terhadap 40 siswa saja. Betapa banyak masalah yang harus mereka tangani.
Seperti yang sering disampaikan para ahli, “tiap siswa adalah individu-individu
yang unik.” Mereka bukan hanya akan menangani 40 masalah saja tapi bisa lebih
dari itu karena tiap siswa bisa saja memiliki lebih dari satu masalah. Tidak
mungkin mereka sanggup menangani masalah-masalah itu sendirian. Ingin meminta
bantuan guru BK namun hanya ada beberapa guru BK di sekolah yang jumlah
siswanya mencapai 300 orang. Ingin berkonsultasi pada kepala sekolah, hanya ada
satu kepala sekolah dan ia pun terlalu sibuk mencari dana bantuan. Akhirnya
guru pun memilih bersikap apatis terhadap perkembangan karakter dan masalah
siswanya. Mereka hanya datang, mengajar, memberi tugas, dan pulang. Lalu
muncullah paradigma-paradigma negatif dari guru, “kami tidak dibayar untuk
mengurus karakter siswa, kami hanya dibayar untuk mengajar, itupun dengan
bayaran yang memprihatinkan,” “mengurus keluarga kami saja sudah membuat
pusing, apalagi ditambah mengurus anak orang lain yang bahkan tidak memiliki
hubungan apapun dengan kami.”
Guru itu adalah tonggak kemajuan sebuah bangsa! Ketika Hiroshima dan
Nagasaki di bom atom oleh Amerika, hal yang pertama ditanyakan oleh PM Jepang
saat itu adalah, “berapa jumlah guru yang tersisa?” Negeri Matahari Terbit itu
benar-benar paham bahwa negaranya boleh hancur berkeping-keping, daun-daun
boleh berguguran, namun tunas-tunas baru harus terus tumbuh. Dan tunas-tunas
itu ada di tangan mereka, GURU. Wajarlah jika saudara tua kita itu lebih maju
50 tahun dibanding Indonesia.
Lalu bagaimana mungkin seorang guru bisa menciptakan insan berkarakter jika
mereka masih harus memikirkan cara memperoleh beras untuk beberapa minggu ke
depan karena gaji mereka hanya bertahan di permulaan bulan? Bagaimana mungkin
mereka bisa menciptakan insan berkarakter jika emosi dan nafsu masih menguasai
mereka? Bukan akhlakul karimah yang mereka tunjukkan malah sebaliknya.
Siswa yang berkarater tidak bisa diciptakan secara instan, seperti memasak
mie. Banyak faktor eksternal dan internal dari siswa yang sangat mempengaruhi
perkembangan mereka. Lingkungan pergaulan yang tidak sehat, pola pikir peniru
kebudayaan asing, dan lemahnya pendidikan agama merupakan secuil persoalan yang
dihadapi siswa sekarang ini. Diperlukan sinergi yang baik antara guru dengan
orang tua untuk terus memantau dan memandu siswa agar tetap pada rel yang
benar.
Pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan guru secara MERATA. Dengan
begitu guru benar-benar akan menjadi profesi yang profesional bukan hanya
profesi pelarian. Banyak orang akan tertarik menjadi guru sehingga besar
peluang bagi sekolah untuk melakukan seleksi, siapa yang sesungguhnya pantas
disebut guru. Ciptakan lagi Sekolah Keguruan dengan seleksi ketat mencakup
aspek IQ, EQ, dan SQ. Dengan begitu akan terlihat siapakah yang benar-benar
berminat dan pantas menjadi guru. Hapuskan mata pelajaran yang TIDAK PENTING di
sekolah, sehingga murid lebih fokus pada minat mereka. Bukan hanya dijejali
dengan 13 teori dari 13 mata pelajaran yang berbeda dan tidak mereka sukai.
Berikan siswa kesempatan seluas-luasnya untuk menekuni minat mereka dan
tanamkan budi pekerti melalui pendidikan agama.
Sudah saatnya kita semua berbenah diri agar wacana menciptakan siswa yang
berkarakter tak seperti peribahasa, “jauh panggang dari api.” Saatnya
mewujudkan mimpi itu dan menghapus kata miris yang identik dengan profesi
keguruan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar