Berbicara
tentang pengertian “MENGAJAR” kalau dilihat esesinya dalam proses belajar
“MENGAJAR”, sudah menyangkut kegiatan “MENDIDIK”, dalam artian untuk
mengantarkan anak kepada tingkat kedewasaanya, baik secara fisik maupun mental.
Tetapi dalam uraian berikut ini mencoba membedakan, dengan suatu maksud
memberikan suatu penanaman terhadap kenyataan yang kini sedang berkembang.
Kenyataan yang dimaksud adalah keadaan proses dan hasil pengajaran di
sekolah-sekolah. Sehingga pembedaan ini tidak bersifat esensial dan konseptual.
Oleh karena itu maka kata “MENGAJAR” dan “MENDIDIK” akan ditempatkan di antara
tanda petik (“……….”)
Memang kalau
dilihat dari segi asal katanya, keduanya memiliki arti yang sedikit berbeda.
““MENGAJAR”” adalah member pelajaran, semisal pelajaran matematika, member
pelajaran bahasa, member pelajaran geografi, agar siswa yang diajar itu
mengetahui dan paham tentang bahan yang diajarkan tadi. Sedang ““MENDIDIK” “
adalah memelihara dan member latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut
umum, memang ““MENGAJAR”” diartikan sebagai usaha guru untuk menyampaikan dan
menanamkan pengetahuan kepada siswa/anak didik. Jadi ““MENGAJAR”” lebih
cenderung kepadatransfer of knowledge.
Kenyataan
““MENGAJAR”” yang lebih menekankan transfer of knowledge,
inilah justru banyak berkembang di sekolah-sekolah. Kebanyakan guru dan juga
orang tua wali sudah merasa puas kalau para anak didik mendapatkan nilai baik
pada hasil ulanganya. Jadi penting dalam hal ini siswa dituntut mengetahui
pengetahuan yang telah diajarkan oleh gurunya. Yang penting adalah kecerdasan
otaknya, bagaimana perilaku dan sikap mental anak didik jarang mendapatkan
perhatian secara serius. Cara evaluasi yang dilakukan oleh oleh guru pun juga
hanya melihat bagaimana hasil pekerjaan ujian, ulangan atau tugas yang
diberikannya. Ini semua mendukung suatu pengertian bahwa ““MENGAJAR”” hanya
terbatas pada soal kognitif dan paling-paling ditambah keterampilan dan masih
jarang yang sampai pada unsur afeksi.
Dalam
hubungan ini perlu dikemukakan suatu kasus yang cukup menarik. Pada suatu hari
ada seorang guru dan siswa dari suatu SMA, sama-sama naik Colt kampus. Di dalam
Colt itu pun keduanya tidak pernah tegur sapa. Kemudian setelah sampai di depan
gedung sekolahnya, guru itupun turun duluan dan siswanya dari belakang
mengacungkan kepalan tanganya. Ilustri ini menunjukkan bahwa seorang guru tadi
hanya diakui eksistensisnya sebagai guru kalau berada hanya di depan kelas
saja, tetapi kalau di luar kelas sudah bukan apa-apa lagi, bahkan mungkin dianggap
musuh karena guru itu dipandang sebagai guru yang kejam. Kejadian-kejadian lain
banyak, misalnya para siswa mengeroyok gurunya, hanya karena nilai rapornya
jelek atau akrena tidak naik kelas. Padahal semua ini hanya sekedar symbol atau
tahapan tertentu, bukan tujuan.
Kasus dan
kejadian seperti dicontohkan di atas, sebagai petunjuk atau akbiat dari
““MENGAJAR”” yang hanya transfer of knowledge,
dan subjek belajar seolah-olah hanya membutuhkan pengetahuan saja. Padahal
tujuan belajar secara esensial, disamping untuk mendapatkan pengetahuan, juga
keterampilan dan untuk pembinaan sikap mental. Dengan demikian tidak cukup
kalau hanya dilakukan proses pengajaran yang transfer
of knowledge. Itulah maka ““MENGAJAR”” harus sekaligus
““MENDIDIK””.
““MENDIDIK””
dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah
kedewasaan baik secara jasmani maupun rohani. Oleh karena itu ““MENDIDIK””
dikatakan sebagai upaya pembinaan pribadi, sikap mental dan akhlak anak didik.
Dibandingkan dengan pengertian ““MENGAJAR””, maka pengertiak ““MENDIDIK”” lebih
mendasar. ““MENDIDIK”” tidak sekedar transfer of knowledge,
tetapi juga transfer of values.
““MENDIDIK”” diartikan secara utuh, baik matra kognitif, psikomotorik maupun
afektif, agar tumbuh sebagai manusia yang berpribadi.
Berkait
dengan soal pembentukan kepribadian anak didik, maka ““MENDIDIK”” juga harus
merupakan usaha untuk memberikan motivasi kepada anak didik agar terjadi proses
internalisasi nilai-nilai pada dirinya, sehingga akan lahir suatu sikap yang
baik.
Sehubungan
dengan uraian dan kenyataan di atas, maka ““MENGAJAR”” dalam kegiatan
belajar-”MENGAJAR” harus diterjemahkan secara konseptual, disinkronisasikan
dengan pengertian ““MENDIDIK””. Oleh karena itu Raka Joni, memberikan batasan
“MENGAJAR” adalah menyediakan kondisi optimal yang merangsang serta mengarahkan
kegiatan belajar anak didik untuk memperoleh penegtahuan, keterampilan dan
nilai atau sikap yang dapat membawa perubahan tingkah laku maupun pertumbuhan
sebagai pribadi.
(Sardiman,
2005:51)
Sumber :
Sardiman. 2005. Interaksi dan motivasi belajar “MENGAJAR”. Jakarta. Raja
Grafindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar